Senin, 01 Februari 2010

H O M I L I - Mgr F.X Hadisumarta O.Carm


-->
H O M I L I Mgr F.X Hadisumarta O.Carm

MINGGU BIASA IV/C/2010
31 Januari 2010

Yer 1:4-5.17-19 1 Kor 12:31-13:13 Luk 4:21-30

PENGANTAR
Injil Lukas yang akan kita dengarkan hari ini (Minggu Biasa IV) adalah lanjutan Injil Lukas yang telah kita dengarkan Hari Minggu lalu >(Minggu Biasa III). Minggu lalu Lukas menceriterakan penampilan dan
pengenalan diri Yesus di hadapan sesama penduduk Nasaret. Yesus
mengakui diri-Nya sebagai tokoh yang digambarkan tugasnya sebagai
Alamsih oleh Yesaya. Hari ini diceriterakan reaksi negatif sesama penduduk Nasaret terhadap Yesus. Marilah kita mencoba menangkap apa yang ingin disampaikan Lukas tentang sikap kita terhadap Yesus. Mereka dahulu belum orang kristen, sedangkan
kita sekarang sudah dibaptis menjadi murid Yesus Kristus.


HOMILI
Apa yang dilakukan Yesus sebagai Almasih, seperti menolong
orang miskin, menyembuhkan orang buta, membebaskan orang tawanan dan
tertindas, - semuanya yang dilihat sebagai mukjizat itu
diselenggarakan- Nya tidak dilakukan di Nasaret. Orang-orang di Nasaret
heran mengapa tidak dilakukan di Nasaret tempat asal dan tinggal-Nya.
Menghadapi keadaan itu Yesus berkata: “Sungguh tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya”. Kuasa dan kemampuan-Nya untuk mengadakan mukjizat tidak dilakukan-Nya
di kalangan sesama penduduk Nasaret, tetapi di daerah sekitarnya.
Sebagai contoh Ia menyebut Nabi Elia dan Nabi Elisa. Mereka itu bukan
menolong orang-orang Israel bangsanya sendiri, tetapi justru
orang-orang asing: seorang janda dari Sarfat-Sidon dan Naaman dari
Siria, kedua-duanya di luar daerah Israel? Mengapa?

Seperti dialami oleh Nabi Elia dan Nabi Elisa, Yesus sebagai nabi
mengalami sendiri, bahwa apa yang Ia katakan atau ajarkan tidak
diterima oleh orang-orang Nasaret, sebab tidak disertai bukti mukjizat
sebagai tanda kehebatan dan kebesaran-Nya, yang telah diperlihatkanNya
di Kaparnaum. Apalagi Yesus adalah orang biasa, tidak lebih daripada
anak Yusuf, seorang tukang kayu, termasuk golongan kelas rendah dalam
masyarakat. Bagaimana mungkin kata-kata orang semacam itu dapat
diterima. Yesus ditolak!


Dari segi lain, - dan inilah rupanya yang ingin disampaikan oleh Lukas
kepada para pembaca Injilnya - , Yesus tidak dapat menyelenggarakan
perbuatan dan karya-Nya yang agung dalam menghadapi orang-orang yang
sikap dirinya tertutup, curiga serta tidak percaya kepada-Nya.

Bila orang-orang siapapun berkumpul dan bersama-sama tidak mau
menerima, memahami dan menolak pandangan atau tawaran pendapat orang,
maka mereka ini hanya mau menerima pandangannya sendiri dan menolak
tawaran kehendak baik dan kasih orang lain. – Bukankah keadaan dan
sikap seperti itu juga pernah bahkan kerapkali kita alami sendiri?
Bukankah situasi semacam ini sekarang pun merupakan situasi suasana dan
iklim masyarakat kita, di mana setiap pihak berpegang teguh pada
pendirian-nya sendiri, tertutup untuk saling terbuka untuk menerima
pandangan yang lain, bahkan disertai praduga dan kecurigaan? – Bukankah
situasi semacam itu pun tak jarang di dalam lingkungan keluarga-keluarga
kita?

Orang-orang di Nasaret tidak mau meninggalkan sikap posesif,
atau sikap “hanya akulah yang benar” terhadap Yesus. Karena itu ketika
Yesus menunjukkan apa yang dilakukan oleh Nabi Elia dan Elisa, “sangat marahlah semua orang yang dirumah ibadat itu” dan
mengusir Dia, bahkan mau membunuh-Nya. Yesus dikritik habis-habisan,
justru karena mau mengajak setiap orang membuka hati kepada orang-orang
kecil. Kejujuran dan keterbukaan hati-Nya justru menghadapi perlawanan,
yang membawa-Nya mati di salib! Injil hari ini menunjukkan kepada
kita, bahwa memiliki suatu pandangan dan sikap hidup yang universal
atau luas dan menyeluruh tidaklah mudah! Yesus ditolak karena Ia menunjukkan kejiwaan besar dan kemurahan hati, khususnya kepada orang-orang pinggiran.

Berhadapan dengan Yesus yang berjiwa besar, murah hati dan berpandangan
luas itu, kita mengakui bahwa kita sering berjiwa stis, irihati, kering
dan keras hati. Bagaimana kita dapat mengakui kesucian Yesus, kalau
kita sendiri tidak mampu mengakui kelemahan diri kita sendiri. Seperti
dialami dan dimiliki oleh orang-orang Nasaret, kita kurang sadar bahwa
kita memilik kebutaan hati. Salah satu ciri kebutaan hati ialah sikap posesif, nafsu memiliki, memiliki untuk diri sendiri.

Kita semua juga dipanggil menjadi nabi seperti Elia, Elisa, terutama seperti
Yesus sendiri. Ciri nabi yang sejati ialah tahu dan mau mengatasi
batas-batas pandangan dan kepentingan diri sendiri dan tidak
membeda-bedakan orang-orang sesama.
Jakarta, 31 Januari 2010

Salam & Doa
Alexander Yusup

Tidak ada komentar: